Tuesday, February 14, 2017

Tradisi Kabanti Sebagai Tradisi Lisan Masyarakat Wakatobi (2)

Foto diambil dari facebook
Tradisi di Wakatobi
Kabanti Tradisi Lisan Masyarakat Wakatobi


Tradisi budaya wakatobi
Sastra lisan dari masyarakat wakatobi yang ternaskahkan berbentuk syair kabanti yang berjudul wanianse merupakn contoh sastra yang berakar dari lisan yang kemudian dituliskan. Ada pula bentuk mantra (doa') masyrakat wakatobi yang tidak diperkenankan untuk dilakukan perekaman dan penyalinan dalam proses penurunannya dan tetap dijaga penurunanya secara lisan. Pengajaranya pun hanya dilisankan dengan dibacakan sebanyak tiga kali. Alasan masyarakat pemilik mantra melarang perekaman dan penyalinan mantra adalah untuk tetap menjaga agar mantra tetap memiliki kekuatan. Menurut masyarakat wakatobi, mantra yang telah disalin atau direkam akan berkurang kekuatan ghaibnya.

Tradisi budaya wakatobi
Masyarakat wakatobi dalam keseharianya juga mengenal istilah pemali. Hal ini (pemali) merupakan ungkapan lisan yang mengatur berbagai kehidupan masyarakat wakatobi, semisal pemali yang berhubungan dengan sakit perut. Masyarakat wakatobi menggunakan ungkapan pemali untuk menunjukkan sakit perut sebagai berikut " jangan makan tebu pada sore hari, nanti ibumu meninggal". Masyarakat wakatobi menggunakan ungkapan pemali tersebut ditujukan pada seorang anak kecil, karena anak kecil belum mengetahui tentang sakit perut dan harus diancam dengan kehilangan seorang ibu yang dicintainya hal ini disebabkan karena anak kecil belum mengerti dengan sakit perut sebelum mereka merasakanya.

Tradisi budaya wakatobi
Hal lain yang terkait dengan tradisi budaya masyarakat wakatobi dalam pelestarian alam masyarakat wakatobi mengenal istilah " bara i tu'o-tu'o te kau i atu bhara kobhe komiu teonituno" yang berarti "jangankalian tebang kayu di situ, nanti di kutuk hantunya". Konsep menjaga kelestarian lingkungan alam dengan menggunakan ungkapan pemali bertujuan untuk menjaga beberapa hutan lindung di kabupaten wakatobi. Masyarakat lebih berpegang pada ungkapan-ungkapan pemali seperti itu dalam keseharianya dari pada mengikuti aturan hukum positif berlaku oleh penegakan hukum polisi kehutanan. Masih banyak ungkapan-ungkapan pemali yang ada di lingkungan masyarakat wakatobi selain dua yang diatas dan semuanya di ungkapkan dalam bentuk bahasa lisan.
bohaywakatobi.blogspot.com
Anak kecil wakatobi bermain diwaktu air surut
Tradisi budaya wakatobi
Penggunaan ungkapan dalam masyarakat wakatobi berangkat dari falsafah hidup masyarakat wakatobi dan buton yang pada umumnya terpatri dalam falsafah pobinci-binciki kuli (saling cubit) yang meliputi pomaa-maasiaka (saling menyayangi), poangka-angkataaka (saling menghargai), posia-piaraka (saling memelihara), pomae-maeka (saling menakuti),. Falsafah hidup ini merupakan konsep humanisme masyarakat wakatobi dan buton pada umumnya yang diturunkan secara turun menurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya secara lisan. Empat dasar konsep humanisme tersebut dipergunakan masyarakat wakatobi sebagai dasar dari seluruh konsep kehidupanya.

Tradisi budaya wakatobi
Bersambung ketulisan : Tradisi Kabanti Sebagai Tardisi Lisan Masyarakat Wakatobi (3)  

No comments:

Post a Comment